Load more

IMPLEMENTASI IJTIHAD DALAM PENERAPAN HUKUM SYARA’

Mata Kuliah : Metodologi Penulisan Karya Ilmiah


Dosen : 
Dr. H. M. Arief Halim, MA
Dr. H. M. Ilyas Upe, MA


IMPLEMENTASI IJTIHAD DALAM PENERAPAN HUKUM SYARA’






DI SUSUN OLEH
SUKRIANTO

PASCASARJANA UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2013

____________________


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an pada dasarnya adalah kitab yang memuat pesan-pesan, petunjuk, dan perintah moral bagi kepentingan hidup manusia di muka bumi. Petunjuk dan perintah ini bercorak universal, abadi, dan fungsional, sebagai intisari wahyu terakhir. Al-Qur’an bukanlah sebuah wacana hukum atau kitab politik. Oleh sebab Itu, kitab suci ini tidak pernah berbicara secara gamblang dan rinci tentang bentuk-bentuk masyarakat sipil atau masyarakat non sipil. Namun demikian bukan berarti firman-firman Allah tersebut hanya terbatas pada suatu persoalan atau hukum saja, sebab As-Sunnah menjadi sumber hukum yang kedua, sumber yang merupakan penjelasan yang tersurat ataupun tersirat dari kehidupan Rasulullah.

Namun meski demikian, ternyata dalam realitasnya ajaran Islam yang digali dari dua sumber tersebut memerluka keterlibatan ulama dalam memahami sumber tersebut dan keterlibatan tersebut dikenal sebagai Ijtihad.

Permasalahan ijtihad dalam hukum Islam senantiasa menarik untuk dikaji, terutama pada implementasi ijtihad dalam penerapan hukum syara’.

B. Rumusan Masalah

Terkait dengan latar belakang di atas, penuli merumuskan beberapa permasalahan yang menjadi acuan dalam pembahasan makalah ini, diantaranya adalah:
1. Apa itu ijtihad dan apa saja yang menjadi dasar hukum ijtihad?
2. Apa yang dimaksud dengan hukum syara’?
3. Bagaimanakah implementasi ijtihad dalam penerapan hukum syara?
________________________________

BAB II
PEMBAHASAN

A. Ijtihad dan Dasar Hukum Ijtihad
Pengertian Ijtihad

Secara etimologis, kata ijtihad merupakan bentuk masdar dari kata اجتهد. Akar dari kata ini adalah الجهد yang berarti الوسع و الطاقة [1] (kekuatan, kemampuan, kesanggupan)[2]. Kata ijtihad berarti بذل ما في وسعه [3] (pengerahan seluruh kekuatan, kemampuan, kesanggupan).

Secara terminologis, para ulama ahli usul fiqh mengungkapnya dengan berbagai definisi. Al-Fairūz Ābādi (wafat 476 H) mendefinisikan ijtihad sebagai استفراغ الوسع وبذل المجهود في طلب الحكم الشرعي [4] (mengerahkan segala kemampuan untuk menemukan hukum syara’). Al-Āmidi (wafat 631 H) mendefinisikan ijtihad sebagai استفراغ الوسع في طلب الظن بشيء من الأحكام الشرعية على وجه يحس من النفس العجز عن المزيد فيه [5] (mengerahkan seluruh kemampuan dalam menemukan suatu dugaan dalam hukum syara’ yang dirasa sudah tidak ada lagi kemampuan untuk mendapatkan lebih dari itu). Al-Ghazāli (wafat 505 H) mendefinisikan ijtihad sebagai بذل المجتهد وسعه في طلب العلم بأحكام الشريعة [6] (pengerahan seorang mujtahid akan seluruh kemampuannya untuk menemukan pengetahuan tentang hukum syara’).

Beberapa definisi di atas, masing-masing terdapat di dalamnya kelemahan yang sangat bisa dikritisi. Definisi pertama sangat membuka peluang untuk dilakukannya ijtihad oleh siapapun, meskipun ia bukan seorang ahli fiqh. Definisi kedua tampak sempurna, tetapi terdapat pengulangan yang kurang perlu. Pengulangan itu terdapat pada kalimat على وجه يحس من النفس العجز عن المزيد فيه . Kalimat ini sesungguhnya tidak perlu dimunculkan, karena maknanya sudah terangkum dalam kalimat استفراغ الوسع. Dan sebuah definisi seharusnya sesuatu yang sempurna lengkap dan tidak ada kata yang kurang bermanfaat. Definisi ketiga, kata ilmu digunakan untuk menggambarkan hasil dari sebuah ijtihad. Penggunaan term ini tampaknya kurang tepat, karena sesungguhnya sebagian besar hasil ijtihad adalah §ann (dugaan), bukan suatu kebenaran yang pasti.

Sebagian ulama menyamakan kata ijtihad dengan al-Qiyās, di antaranya adalah al-Syafi’ī (wafat 204 H)[7] dan al-Syanqīti (wafat 1393 H)[8]. Pendapat ini tidak seluruhnya benar, sebab ijtihad memiliki makna lebih luas dari al-Qiyās. Ijtihad mengandung semua cara berijtihad mulai dari penelusuran makna yang bisa dipahami dari pernik-pernik sebuah teks, al-qiyās (analogi), sampai pada hal-hal yang bahkan tidak diungkap oleh teks secara eksplisit, yang dipahami oleh seorang mujtahid untuk mencari kemaslahatan.

Definisi yang dianggap paling tepat adalah apa yang dikemukakan oleh al-Bai«āwī (wafat 685 H),استفراغ الجهد في درك الأحكام الشرعية [9] (mengerahkan seluruh kemampuan dalam upaya menggali hukum syara’). Tampaknya, definisi yang diungkap oleh ulama usul fiqh masa lalu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Penulis lebih sepakat dengan definisi al-Bai«āwī karena definisi ini diungkap dengan pernyataan yang simpel dan mencakup semuanya. Pernyataan yang diungkap al-Bai«āwī “درك الأحكام” memiliki pemahaman yang mencakup apakah hukum itu didapat sebagai sesuatu yang qa¯’i atau §anni, naqli atau ‘aqli. Dengan kata lain, Ijtihad adalah suatu aktivitas menyimpulkan hukum syara’ dari dalil masing-masing dalam bidang syari’ah yang dilakukan oleh seorang mujtahid.

Akan tetapi, definisi yang diungkap oleh para ulama modern tampak lebih mengena dengan situasi saat ini. Di antara definisi itu disampaikan oleh Qutb Mustafā Sānu. Menurutnya, ijtihad adalah sebuah kegiatan ilmiah yang memiliki manhaj (metode) khusus yang dilakukan oleh sekelompok ulama yang memiliki kualifikasi ijtihad pada suatu masa untuk sampai pada keadaan terbaik sesuai kehendak Allah swt dalam sebuah masyarakat.[10] Definisi ini dianggap lebih bijak karena ijtihad pada masa ini memang akan cukup sulit bila dilakukan secara individual. Di samping karena begitu banyak dan kompleksnya permasalahan yang ada pada zaman modern ini, juga kapabilitas seseorang untuk mencapai tingkat mujtahid dengan berbagai kualifikasi dan persyaratannya sangat sulit terjadi. Sementara ijtihad untuk mengantisipasi dan memberi solusi atas berbagai permasalahan baru yang muncul harus ada yang melakukannya. Maka, sangat bijak bila ijtihad itu dilakukan oleh sebuah tim khusus yang memiliki kapasitas ilmiah pada bidang masing-masing yang saling melengkapi.
Dasar Hukum Ijtihad

Dasar hukum ijtihad banyak ditemukan dalam ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi yang nash-nashnya memerintahkn untuk menggunakan pikiran dan akal serta mengambil pelajaran. Di antaranya ialah:

a. Dari Al-Quran
Dasar hukum ijtihad dalam Al-Qur’an antara lain:
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Ar-Ra’d: 3; Ar-Rum: 21; Az-Zumar: 42).

“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Hasyr: 2)

Ayat-ayat tersebut mengisyaratkan kepada manusia agar menggunakan pikiran dan akal serta mengambil i’tibar (pelajaran).

b. Dari Hadis
Dasar hukum ijtihad dalam hadits, antara lain:

“Apabila seorang hakim memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian ternyata ijtihadnya itu benar, maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia memutuskan suatu perkara, lalu ia berijtihad kemudian ternyata ijtihadnya keliru, maka ia mendapat satu pahala.” (HR. Muslim).

“Sesungguhnya, ketika Rasulullah ingin mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau bertanya, ‘Bagaimana upayamu dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadamu?’ Mu’adz menjawab, ‘Akan aku putuskan berdasarkan Kitabullah.’ Nabi kemudian bertanya lagi, ‘Bagaimana jika kamu tidak menjumpai dalilnya dalam Al-Qur’an?’ Mu’adz menjawab, ‘Akan aku putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah bertanya lagi, ‘Bagaimana jika tidak kamu dapati dalilnya di dalam sunnah Rasulullah dan Kitabullah?’ Mu’adz menjawab, ‘Aku akan berijtihad dengan rasioku dan tidak mengabaikannya.’ Kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’adz sambil bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada duta Rasul-Nya terhadap apa yang diridhai oleh Rasulullah’.” (HR Abu Dawud).

B. Hukum Syara’
Pengertian Hukum Syara
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.[11]

Hukum syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “hukum” dan kata “syara”. Kata hukum secara etimologi berarti “memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan”, dan dalam arti yang sederhana dapat di katakana bahwa hukum adalah “seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggota”. Sedangkan kata syara’ secara etimologi berarti “jalan-jalan yang biasa dilalui air”, maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia dalam menuju kepada Allah, kata ini secara sederhana berarti “ketentuan Allah”. Bila kata hukum dirangkai dengan kata syara’ maka akan berarti : “seperanhkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan di yakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam”.[12]

C. Implementasi ijtihad dalam penerapan hukum syara’
Jika ditelusuri sejarah perkembangan tentang kajian ijtihad maka diketahui bahwa perhatian terhadap ijtihad ini telah ada sejak masa Rasulullah saw. Misalnya anjuran Nabi saw kepada para pemuda yang sudah memiliki kemampuan untuk segera menikah. Dalam hadits itu Nabi saw bersabda:

“Wahai para pemuda, jika kalian telah sanggup untuk menikah, maka menikahlah, karena dengan pernikahan itu akan menjaga pandangan dan memelihara kehormatan. Namun jika kamu belum sanggup, maka laksanakanlah puasa, karena dengan puasa itu akan menjadi benteng bagimu” (H. R. Bukhari).

Hadits di atas secara jelas terlihat apa tujuan disyari’atkannya pernikahan dalam Islam yaitu untuk memberikan kemashlahatan bagi manusia itu sendiri. Kemashlahatan yang dimaksud adalah agar manusia yang melaksanakan penikahan itu terhindar dari perbuatan-perbuatan asusila seperti prostitusi. Alasannya adalah karena pernikahan itu adalah untuk menjaga pandangan mata dan memelihara kemaluan dari hal-hal yang bisa merusak nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan bagi yang belum ada kesanggupan untuk menikah dianjurkan untuk berpuasa. Karena dengan berpuasa dapat mengendalikan hawa nafsu seksual yang membara.
Penelaahan terhadap maqashid al Syari’ah mulai mendapat perhatian yang intensif setelah Rasulullah saw wafat, di saat para sahabat dihadapkan kepada berbagai persoalan baru dan perubahan sosial yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw masih hidup[13]. Perubahan sosial yang dimaksud adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai- nilai, sikap-sikap, pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok di dalam masyarakat[14]. Perubahan sosial seperti ini juga terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw, yang menuntut kreatifitas para sahabat untuk memecahkan persoalan- persoalan baru yang muncul akibat perubahan sosial itu. Kreatifitas para sahabat itu itu juga dituntut untuk melakukan penelaahan terhadap maqashid al Syari’ah sebagai upaya dalam melakukan terobosan-terobosan hukum untuk mengantisipasi perubahan sosial yang terjadi.

Sahabat Nabi saw yang paling sering melakukan kreasi dalam bidang hukum sebagai implikasi dari perubahan sosial itu adalah Umar Ibn al Khatab[15]. Salah satu contoh yang sering dikemukakan oleh para ulama ushul adalah tentang pengucapan thalaq tiga sekaligus itu jatuh tiga. Pada masa Nabi saw dan masa Abu Bakar dan di awal pemerintahan Umar Ibn al Khatab penjatuhan thalaq tiga sekaligus dihitung satu. Namun setelah melihat adanya perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat waktu itu, Umar Ibn al Khatab memutuskan bahwa penjatuhan thalaq tiga sekaligus itu dianggap jatuh tiga[16]. Keputusan Umar Ibn al Khatab ini adalah untuk menutup peluang terjadinya tindakan semena-semena para suami yang waktu itu seringkali berbuat sewenang-wenang menjatuhkan thalaq kepada isteri-isteri mereka. Selain itu juga untuk menjaga eksistensi fungsi thalaq itu sendiri dan mengembalikan fungsi yang sebenarnya. Hasil dari keputusan itu menampakkan bahwa thalaq sebagai hak suami tidak diselewengkan sebagai alat menganiaya isteri[17]. Pertimbangan maqashid al Syari’ah terlihat dalam ijtihad yang dilakukan Umar Ibn al Khatab di atas. Oleh karena itu ijtihad Umar Ibn al Khatab ini sesuai dengan adagium fiqih yang menyatakan bahwa “Perubahan suatu fatwa tergantung kepada perubahan zaman, keadaan, dan kebiasaan masyarakat itu”[18].

Pada perkembangan selanjutnya penelaahan terhadap maqashid al Syari’ah semakin mendapat perhatian di kalangan ulama ushul. Imam al Juwaini- al Imam al Haramain Abi al Ma’ali Abd al Malik Ibn Abdullah Ibn Yusuf al Juwaini-dapat dikatakan sebagai ulama ushul yang pertama kali meletakkan dasar kajian tentang ijtihad ini. Imam al Juwaini mengatakan orang- orang yang tidak mampu memahami dengan baik tujuan Allah dalam memberikan perintah dan laranganNya, maka ia belum dipandang mampu dalam menetapkan atau melakukan istinbath hukum-hukum Syari’at[19].
___________________

[1] Ibrāhīm Unais dkk. (ed.), al-Mu’jam al-Wasīt, (Cairo: Dārul Ma’rifah, 1972), h. 142, Lihat juga, Muhammad ibn Mukarran ibn Manzur al-Ifrīqi al-Masri, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dar Sadir, tth.), Juz 3. h. 133

[2] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 1558

[3] Ibrāhīm Unais dkk. (ed.), al-Mu’jam al- Wasī¯, h. 142

[4] Abu Ishāq Ibrāhīm ibn Ali ibn Yūsuf al-Syairāzi al- Fairuz ābādi, al-Luma’ fi U¡­l al-Fiqh, (Surabaya: Maktabah Muhammad ibn Ahmad Nabhan wa Auladuh, tth.) h. 70

[5] Al-Āmidī, al-Ihkām fī U¡­l al-Ahkām, (ttp. : Ma¯ba’ah ¢abih, 1347 H), Juz 3, h. 139

[6] Ab­ Hāmid al-Ghazāli, al-Musta¡fā min ‘ilm al-U¡­l, (ttp: Ma¯ba’ah Mus¯afā Muhammad, 1356 H), Juz 2, h. 101

[7] Muhammad ibn Idrīs al-Syāfi’i, al-Risālah, Tahqiq oleh Ahmad Muhammad Syākir, (ttp: tanpa penerbit, tth.), h. 477

[8] Muhammad al-Amīn ibn Muhammad al-Mukhtār al-Syanqīti, Muzakkirah fī U¡­l al-Fiqh, (Iskandaria: Dar al-Basirah, tth.), h. 270

[9] Jamāluddīn Abdurrahmān ibn Hasan al-Isnawi, Nihāyat al-S­l fī Syarh Minhāj al-Wu¡­l Ilā ‘Ilm al-U¡­l li al-Qā«i al-Bai«āwi, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 1420 H), Juz. 2, h. 1025

[10] Qu¯b Mu¡¯afa Sān­, al-Ijtihād al-Jamā’i al-Mansy­d fi ¬aw` al-Wāqi’ al-Mu’ā¡ir, (Beirut: Dar an-Nafaes, 2006), h. 24 – 25

[11] Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. Logos Wacana Ilmu. Ciputat: 1997.

[12] Lumba Lumba Biru. http://birulumbalumba.blogspot.com/2012/04/ pengertian-hukum-syara-dan-pembagian.html. Kamis, 05 April 2012

[13] Nasrun Haroen, Maqashid al Syari’ah dan Perubahan Sosial, Makalah Pada Kuliah Umum, dalam rangka penutupan Kuliah Semester Genap tahun 1996/1997 Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Padang, makalah tidak diterbitkan, (Padang, 1996/1997), h. 3

[14] Soerjono Soekanto, Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1980),, h. 89

[15] Sebenarnya masih banyak kreatifitas sahabat dalam melakukan terobosan untuk menghadapi perubahan sosial yang terjadi sepeninggal Nabi saw. Namun dalam kesempatan ini penulis hanya mengemukakan satu contoh dari Umar Ibn al Khatab.
[16] Muhammad Said Ramadhan al Buthi (selanjutnya disebut al Buthi), al Dawabit al Mashlahat fri al Syari’ah al Islamiyah, (Beirut: Muasasah al Risalah, 1977), h. 140-141

[17] Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta, UIIPress, 1999), h . 41

[18] Ibn Qayyim al Jauziyah, I’lam al Muwaqi’in ‘an Rab al ‘Alamin, (Beirut: Dar al Fikr, tth), Juz III, h. 14

[19] al Imam al Haramain Abi al Ma’ali Abd al Malik Ibn Abdullah Ibn Yusuf al Juwaini, (selanjutnya disebut dengan al Juwaini), al Burhan Fi Ushul al Fiqh, (Kairo: Dar al Anshar, 1400 H), Juz I, h. 295
______________________________________


BAB III

PENUTUP

Berdasarkan uraian pada pembahasa di atas, maka dapat simpulkan bahwa, Secara bahasa ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu. Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran dan as-Sunnah. Rasulullah saw pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud sebagai berikut : " Berhukumlah engkau dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu engkau temukan pada dua sumber tersebut. Tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka ijtihadlah ".

Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
_________________________________


DAFTAR PUSTAKA

Al Jauziyah, Ibn Qayyim, I’lam al Muwaqi’in ‘an Rab al ‘Alamin, (Beirut: Dar al Fikr, tth)

Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995)

Al Gazhali, Abu Hamid, al Mustashfa Min Ilm al Ushul, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1983)

Lumba Lumba Biru. http://birulumbalumba.blogspot.com/2012/04/pengertian- hukum-syara-dan-pembagian.html. Kamis, 05 April 2012

Alam, Andi Syamsu, Peningkatan Kualitas Putusan Hakim Peradilan Agama Tingkat Pertama dan Tingkat Banding, dalam Majalah Varia Peradilan, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Tahun Ke XX No. 239 Agustus 2005)

Al Buthi, Muhammad Said Ramadhan, al Dawabit al Mashlahat fri al Syari’ah al Islamiyah, (Beirut: Muasasah al Risalah, 1977)

Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1995)

Al Fasi, ‘Allal, Maqashid al Syari’ah wa Makarimuha, (Mesir: Dar al Ma’arif, 1971)

Al Gazhali, Abu Hamid, al Mustashfa Min Ilm al Ushul, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1983)

Al Ghazali, Abu Hamid, Syifa’ al Ghalil fi Bayan al Syabah wa al Mukhil wa Masalik al Ta’lil, (Beirut: Dar al Kutub al ‘Ilmiyah, 1420 H-1999 M)

Al Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim Ibn Musa al Lakhmi al Garnatti, al Muwafaqat Fi Ushul al Syari’ah,, (Beirut: Dar al Ma’rifah, 1975)

Download PC Media Antivirus (PCMAV) 6.4 Asgard Februari 2012

Bersamaan dengan terbitnya majalah PCMEDIA Edisi Feb 2012 akhirnya PCMAV versi 6.4 keluar juga. Di versi terbaru ini PCMAV sudah mampu mendeteksi 5.431 jenis virus yang banyak menyebar di Indonesia.

Berikut ini beberapa perubahan di versi terbaru:
  • ADDED! Removal engine khusus untuk membersihkan secara tuntas virus Qvod, Alice, Alice.html, Angel2, Persist, dan Serviks.vbs.D yang menyebar luas di Indonesia
  • ADDED! Penambahan mutex pada engine khusus agar dapat mengenali lebihbanyak varian NgrBot yang menyebar.
  • IMPROVED! Jendela karantina tidak ditampilkan secara otomatis setelah proses pengkarantinaan dilakukan di menu scanner.
  • IMPROVED! Perbaikan fitur CatchCrypted dalam mengenali program yang terenkripsi serta tidak lagi mendeteksi program TweetDeck jika fitur ini diaktifkan.
  • FIXED. Perbaikan fitur RTP yang berpotensi membuat PCMAV mengalami freeze etelah waktu pemakaian yang lama.
  • FIXED. Perbaikan parameter ‘/NOUPDCLAM’ yang tidak berfungsi tanpa karakter ‘/’.
  • UPDATED! Ditambahkan database pengenal dan pembersih 231 virus lokal/asing/varian baru yang dilaporkan menyebar di Indonesia. Total 5431 virus beserta variannya.
  • IMPROVED! Perubahan nama virus mengikuti varian baru yang ditemukan.
  • MPROVED! Perbaikan beberapa minor bug dan improvisasi kode internal ntuk memastikan bahwa PCMAV tetap menjadi antivirus kebanggaan Indonesia.
Bagi agang2 yg mau download silahkan klik di SINI